Sinergi Tiga Pilar Kunci Wujudkan Pertambangan Aceh yang Berkelanjutan

Diskusi publik Masa Depan Pertambangan Aceh yang menghadirkan pemangku kepentingan dari pemerintah, DPR, dan pengusaha ( Foto : Mhmd ).

Diskusi Publik Soroti Masa Depan Pertambangan Aceh,Mencari Jalan Tengah antara Kesejahteraan dan Kelestarian

BANDA ACEH,PENDIDIKANNASIONAL.ID – Berbagai pandangan dari pemerintah, dunia usaha, legislatif, dan akademisi bertemu dalam diskusi publik bertajuk “Masa Depan Pertambangan Aceh: Harapan atau Ancaman”. Forum yang digelar atas kolaborasi Forbina, Aceh Info, dan Puja TV ini berupaya merumuskan rekomendasi kebijakan untuk tata kelola pertambangan yang berkelanjutan.

Dalam sambutannya, Direktur Puja, Jamaluddin, menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha untuk mengelola potensi tambang Aceh secara bertanggung jawab.

Diskusi mengalir dari persoalan tambang ilegal hingga masa depan pertambangan legal. Sektor ini diakui memiliki dua sisi: sebagai penggerak ekonomi sekaligus ancaman bagi lingkungan.

Kepala Bidang Mineral dan Batubara Dinas ESDM Aceh, Sa’id Faisal, S.T., mengungkapkan, dari 63 izin usaha pertambangan (IUP) yang aktif, hanya 11 perusahaan yang beroperasi. Ia meyakini, dengan tata kelola yang baik, sektor ini dapat menyumbang pendapatan daerah, membuka lapangan kerja, dan menggerakkan ekonomi lokal.

“Selain pendapatan, perusahaan tambang juga diwajibkan menyisihkan 1% dari total penjualan untuk program pemberdayaan masyarakat melalui tanggung jawab sosial,” jelas Sa’id.

Baca Juga :  https://pendidikannasional.id/daerah/dari-ppgd-hingga-simulasi-linmas-pujon-ditingkatkan-kemampuannya-hadapi-bencana/

Perwakilan dari dunia usaha, melalui Ketua KADIN Aceh Muhammad Iqbal (atau perwakilannya), menyoroti perlunya regulasi yang jelas dan konsisten. Menurutnya, ambiguitas aturan sering menjadi penghambat investasi dan memperlambat kemajuan sektor ini.

“Pertambangan adalah industri padat modal dan padat karya. Investor membutuhkan kepastian hukum untuk berinvestasi jangka panjang,” tegasnya.

Ia juga mendorong model kepemilikan bersama antara pemerintah daerah dan masyarakat lokal agar manfaat ekonomi dapat dirasakan lebih merata, sambil memastikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) ditegakkan secara ketat.

Dari sisi legislatif, Ketua Fraksi NasDem DPR Aceh yang juga Anggota Komisi III, Nurchalis S.P., M.Si., mengingatkan bahwa Aceh tengah menghadapi tantangan fiskal serius dengan meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran.

Ia menilai sektor pertambangan bisa menjadi solusi jika dikelola secara kolaboratif, terintegrasi, dan benar-benar menguntungkan rakyat. Nurchalis menyoroti perlunya penguatan Qanun Nomor 15 Tahun 2013 tentang pengelolaan sumber daya alam untuk memungkinkan keterlibatan masyarakat yang lebih besar.

“Kita membutuhkan tata kelola baru yang tidak hanya mengatur pajak dan izin, tetapi juga melindungi investasi dan memastikan manfaat nyata bagi rakyat,” ujarnya.

Lihat Juga :  https://youtube.com/@pendidikannasionaltv?si=7MptnqLVlhZi45vk

Aspek fiskal turut menjadi perhatian. Kepala Bidang DJP Aceh, Anang Anggarjito, memaparkan kondisi kepatuhan pajak yang memprihatinkan. Dari sekitar 700 wajib pajak tambang yang terdaftar, hanya 45 perusahaan yang aktif membayar pajak.

Kondisi ini, menurutnya, dipengaruhi oleh sistem self-assessment dan banyaknya perusahaan tambang yang berkantor pusat di luar Aceh, sehingga potensi penerimaan pajak dan dana bagi hasil untuk daerah menjadi terbatas.

Ia menambahkan, meski PPN dan PPh dikelola pusat, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor pertambangan dapat dikembalikan 100% ke daerah asalkan pengusaha melaporkan Izin Usaha Pertambangan Nomor Pokok Wajib Pajak (IUPNPWP) mereka.

Haqul Baramsyah, akademisi di bidang pertambangan, mengingatkan agar narasi positif tentang investasi tidak mengabaikan fakta kerusakan lingkungan di lapangan. Ia menekankan pentingnya membangun kesadaran kolektif bahwa pertambangan bukan untuk ditolak, melainkan untuk dibenahi agar berkelanjutan.

“Pertambangan adalah fondasi banyak kebutuhan modern. Tantangannya bukan menghentikan tambang, tapi memastikan praktiknya bertanggung jawab dan berpihak pada masa depan lingkungan,” ungkap Haqul.

Diskusi publik ini ditutup dengan kesepahaman bersama bahwa masa depan pertambangan Aceh bergantung pada tata kelola yang transparan, regulasi yang kuat, dan sinergi antar semua pemangku kepentingan.

Potensi besar sektor minerba dan migas di Aceh hanya akan menjadi harapan, bukan ancaman, jika dikelola dengan prinsip keadilan sosial, kelestarian lingkungan, dan komitmen pada kesejahteraan masyarakat Aceh yang berkelanjutan.

 

Kontributor ( Muhammad ). 

Array
Related posts
Tutup
Tutup